![]() |
| Ilustrasi (Foto: Pexels) |
Syafnis.Com, Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan tabir surya menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari. Banyak orang mengoleskannya bukan hanya saat ke pantai atau beraktivitas di luar ruangan, tetapi juga ketika berada di dalam rumah.
Tren ini muncul dari meningkatnya kesadaran akan bahaya sinar ultraviolet (UV) yang dapat merusak kulit, mempercepat penuaan, hingga meningkatkan risiko kanker kulit.
Namun, di balik upaya melindungi diri ini, muncul pula salah paham seakan tubuh harus sepenuhnya dihindarkan dari matahari. Padahal, sinar matahari tetap memiliki peran biologis penting yang tidak bisa digantikan oleh suplemen ataupun skincare apa pun.
Manfaat sinar matahari
Salah satu fungsi utama sinar matahari adalah membantu tubuh memproduksi vitamin D. Paparan UVB dalam intensitas yang tepat memicu kulit menghasilkan vitamin D3 yang mendukung kesehatan tulang, imunitas, dan berbagai proses metabolik.
Ketika tubuh terlalu dilindungi dari matahari, misalnya dengan tabir surya ber-SPF tinggi yang digunakan sepanjang hari tanpa jeda, produksi vitamin D bisa menurun.
Kondisi ini sudah mulai terlihat pada masyarakat urban yang sebagian besar beraktivitas di dalam ruangan dan jarang mendapat paparan cahaya alami. Artinya, perlindungan kulit memang penting, tetapi bukan berarti sinar matahari harus dihindari total.
Sinar matahari sering kali dipandang sebagai ancaman bagi kulit, padahal di sisi lain, ia merupakan elemen penting yang menjaga berbagai fungsi biologis manusia tetap berjalan optimal.
Cahaya matahari membantu tubuh memproduksi vitamin D melalui proses alami di kulit, dan vitamin ini memegang peran besar dalam kesehatan tulang, kekuatan otot, dan sistem kekebalan.
Tanpa paparan matahari yang cukup, tubuh akan kesulitan menjaga kadar vitamin D yang stabil, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas hidup dan kebugaran secara keseluruhan.
Selain itu, sinar matahari juga berperan penting dalam mengatur ritme sirkadian, yaitu jam biologis yang mengatur pola tidur dan kewaspadaan tubuh. Paparan cahaya alami membantu otak memahami kapan harus melepaskan hormon tertentu, seperti melatonin, yang mengatur rasa kantuk. Ketika seseorang jarang mendapat paparan matahari, ritme ini dapat terganggu sehingga berdampak pada kualitas tidur, mood, hingga produktivitas. Karena itu, sinar matahari bukan hanya soal vitamin D, tetapi juga menyangkut keseimbangan tubuh dan pikiran yang lebih luas.
Awal Kemunculan Tabir Surya
Jauh sebelum tabir surya hadir dalam bentuk lotion modern, manusia sebenarnya telah berusaha melindungi kulit dari sengatan matahari dengan cara-cara tradisional.
Masyarakat Mesir kuno, misalnya, menggunakan minyak wijen dan ekstrak tumbuhan sebagai pelindung alami. Sementara itu, peradaban Yunani dan Romawi mengenal penggunaan minyak zaitun untuk menjaga kulit tetap lembap sekaligus mengurangi efek terbakar. Meski belum memahami konsep radiasi UV, mereka sudah menyadari bahwa paparan sinar matahari yang berlebihan bisa menimbulkan kerusakan pada kulit.
Perkembangan tabir surya modern baru dimulai pada awal abad ke-20 ketika para ilmuwan mulai meneliti hubungan antara sinar matahari dan kerusakan kulit secara lebih sistematis. Pada tahun 1930-an, muncul produk-produk pertama yang mengklaim mampu melindungi kulit dari sinar matahari, meski tingkat efektivitasnya masih sangat sederhana.
Kemudian pada 1940-an dan 1950-an, konsep SPF (Sun Protection Factor) mulai diperkenalkan, membuka jalan bagi formulasi tabir surya yang lebih terstandar. Dari sinilah perkembangan tabir surya semakin pesat, bertransformasi dari sekadar pelindung kulit menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas perawatan kulit di seluruh dunia.
Tubuh dan Sinar Matahari
Meski tubuh membutuhkan sinar matahari, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap bahaya paparan UV yang berlebihan. Radiasi UV yang terlalu intens dapat menyebabkan kerusakan DNA pada sel kulit, memicu munculnya flek, mempercepat penuaan, hingga meningkatkan risiko kanker kulit.
Inilah mengapa tabir surya tetap menjadi komponen penting dalam rutinitas perawatan kulit, terutama bagi mereka yang sering terpapar matahari dalam waktu lama. Prinsipnya bukan menghilangkan paparan, tetapi mengelolanya dengan bijak.
Di sinilah edukasi menjadi kunci, penggunaan tabir surya tidak dimaksudkan untuk meniadakan interaksi antara tubuh dan matahari, melainkan mengurangi eksposur yang berpotensi merusak.
Banyak ahli kesehatan menyarankan paparan matahari sekitar 10–15 menit pada pagi atau sore hari tanpa tabir surya untuk mendukung mendukung produksi vitamin D.
Kesalahan banyak orang adalah menganggap tabir surya sebagai perisai mutlak yang harus dipakai sepanjang hari tanpa jeda, atau sebaliknya, mengabaikannya sama sekali karena merasa tubuh membutuhkan cahaya matahari.
Membiasakan diri untuk lebih menghargai ritme alami tubuh juga penting. Rutinitas sederhana seperti berjemur sejenak di pagi hari, menghabiskan waktu di luar ruangan tanpa gadget, atau sekadar membuka jendela agar cahaya alami masuk dapat menjadi langkah kecil untuk merawat kesehatan secara holistik.
Pada akhirnya, sinar matahari bukan musuh yang harus dihindari, tetapi sumber energi alami yang perlu dikelola dengan bijak.
Jika kita mampu memahami bahwa tabir surya bukan alat untuk memutus hubungan tubuh dengan alam, kesadaran baru akan tumbuh: perlindungan terbaik bukan hanya lotion dalam botol, tetapi pengetahuan tentang tubuh kita sendiri. Dengan edukasi yang tepat, kita bisa menjaga kulit tetap sehat tanpa kehilangan manfaat penting dari sinar matahari yang menjadi bagian vital kehidupan manusia. Semoga bermanfaat!

