![]() |
Ilustrasi (Foto: Thinkstock) |
By: Syafnis
"Nai, doain aku ya."
Ini adalah chatnya yang ke sekian kali, selalu meminta doa kesembuhan. Sahabatku ini sejak selesai sidang munaqasah, sudah lama terbaring sakit mondar mandir rumah sakit.
"Ya Allah Bunga, semoga cepat sembuh."
Aku yang saat itu sedang sibuk mencari lowongan kerja hanya membalas dengan mendoakannya dan tanpa menanyakan banyak hal padanya, itu salahku, seharusnya aku peka bahwa dia sedang membutuhkanku.
Tetapi apalah dayaku, aku tak bisa mengendalikan suasanaku yang masih sedang memperjuangkan banyak hal selepas sarjana, namun apakah Bunga mengerti bahwa kesibukanku bukanlah dalam konteks aku melupakannya, semoga dia memahamiku.
Namun aku egois, aku terlalu sibuk dengan duniaku yang mencari kerja kesana kemari, tetapi sayangnya, aku tak bisa memahami bahasa sahabatku sendiri.
Dulu aku pernah merasa kesal olehnya, namun aku menyesal karena kekesalanku keliru. Di hari-hari selesai sidang, aku berniat mengunjungi kosannya agar menyelesaikan revisi bersama-sama serta membuat jurnal dari skripsi kami pun bersama-sama.
Bayanganku kala itu, kami bisa selesai bersama dan bisa mengambil ijazah bersama. Tapi, bayanganku runtuh. Dua porsi pangyam aku beli, yang satu hanya level satu, dan itu untukku. Dan satu lagi pangyam level empat, untuk Bunga.
Aku tahu betul selera pedasnya yang tidak satu takar denganku. Seingatku dulu waktu dia pernah nitip jajanan cilok, ia terus menerus memburat kecewa karena rasa pedasnya tidak terasa.
Aku mengerutkan kening, itu tidak pedas? Dia ingin beli cilok pakai cabe apa cabe pakai cilok? Gumamku dalam hati.
Kembali ke hal yang aku menyesal pernah merasa kesal padanya adalah, saat aku mengetuk pintu kosannya dan dia benar-benar tidak ada.
Ku cek ponsel, ku hubungi dia.
"Naila, aku lagi di bis menuju pulang."
"Baiklah." Jawabku, singkat, dan menutup telpon. Aku tidak bercerita telah membeli jajanan kesukaannya.
Ku hela nafas panjang, mungkin aku harus menyelesaikan revisi ini sendirian.
Tak lama ku terima penjelasan pulangnya, rupanya dia sangat merindukan anaknya. Bunga ini adalah sahabatku yang menikah di masa kuliah. Semenjak aku menikah, hari ini bila aku mengingat masa-masa dahulu, aku semakin mengagumi Bunga karena betapa kuatnya wanita itu. Menjadi istri, ibu, mahasiswa. Banyak peran itu tidaklah mudah.
Mungkin karena saat itu aku belum mengerti, kekesalan di dadaku tetap menjalar padanya. Dan kini, setelah aku menjadi seorang ibu, aku mengerti bagaimana rasanya menjadi dirimu. Aku baru mengerti bagaimana rasanya menjadi ibu yang tak bisa jauh dari anaknya. Maafkan aku, Bunga. Maaf atas dangkalnya rasa pengertianku.
Terakhir aku melihat wajahmu, adalah saat wisuda. Hampir aku tak bisa mengenalmu, bukan karena balutan make up. Tapi, apa hanya aku yang melihat betapa pucatnya dirimu. Suaminya bilang, memang ketika itu dia memaksakan diri. Ah, aku menyesal mengapa aku tak berbincang denganmu walau hanya sebentar.
Saat aku melihatmu seusai prosesi wisuda, aku hendak menemuimu. Namun, tanganku ditarik teman kelas, dia bilang aku harus ikut foto bersama.
Seusai berfoto, aku kehilangan jejak. Bunga sudah menghilang di tengah kerumunan khalayak yang sangat padat itu.
Bunga, entah dari mana aku harus memulai cerita ini. Cerita tentang Bunga, sahabatku yang tak pernah menunjukan air matanya meski saat ku ketahui kehidupannya, ia layak menangis.
Namun, wajahmu hanya selalu mengenakan tawa lepas. Tawamu yang khas itu, tanpa kau sadari telah menjadi obat bagi teman-temanmu.
Bunga, namanya seindah hatinya. Aku mengenalnya sejak kami masuk di satu kampus yang sama dan tinggal di asrama yang sama. Bersama Lina dan Nida, persahabatan kami semakin kokoh.
Selama kami berteman, jika aku harus mengenang, dirinya identik dengan tawanya yang khas. Tawanya itulah yang selalu mampu menyihir suasana kami ke dalam perasaan bahagia.
Tetapi apalah dayaku, bila engkau bertanya tentang siapa Bunga, dialah orang yang selalu tertawa bahagia.
Tapi bila ada yang bertanya dimana air matanya. Adalah di kelopak mataku, di kelopak mata Lina, dan di kelopok mata Nida. Kami bertiga yang harus menunjukan air mata ini padanya, meski mungkin, dia tak pernah menginginkannya.
Di sela aku yang tengah bekerja dan mencari waktu untuk menjenguknya yang telah terbaring lama di rumah sakit, aku tentu harus menyesuaikan juga dengan waktu senggang Lina dan Nida.
Kami berencana memberinya kejutan, itulah bayangan indah kami saat itu. Memang kami berempat sudah seperti keluarga, dari awal kuliah hingga selesai, kami menjalin kedekatan yang tak pernah putus.
Pun kami mulai susah bertemu, tapi kami tetap menjaga komunikasi. Dan tentu mengenai rencana kami menjenguknya tengah kami persiapkan dengan sebaik mungkin.
Kendala demi kendala selalu datang. Saat aku punya waktu, Lina tidak bisa. Dan demikian seterusnya, selalu ada saja salah satu dari kami yang terkendala.
Hingga di suatu hari, aku masih ingat betul, tepatnya seminggu sebelum kami menjenguknya, dia mengirimkan sebuah pesan di whatsapp grup kami.
Apa dan kenapa dengan Bunga ini? Kata-katanya bak menggetarkan tanganku. Mengapa dia seolah mengucap kata-kata perpisahan.
Dia bilang minta maaf, dia minta kami selalu mendoakannya. Dan dia bilang, dia sudah lelah dengan penyakitnya.
Kamipun dengan cepat merespon, menyemangatinya, menguatkannya, dan aku yang malah dengan enteng mengatakan makan yang banyak biar cepat sehat, aku tak pernah terpikir bahwa dia dalam kondisi makan melalui selang, itupun aku ketahui dari penuturan suaminya, lama setelah itu.
Entah kami diberi perasaan untuk bisa menangkap pesan ini, sepertinya tidak hanya aku saja yang merasa harus cepat-cepat menjenguknya.
Hingga sepakatlah kami, untuk berangkat, seminggu setelah pesan itu dia kirimkan.
Kami berangkat malam hari, diantara kami ada yang bekerja dulu, tapi itu bukan halangan untuk kami tetap berangkat.
Selama di bis, kami terus becanda ria, sebab inilah reuni pertama kami semenjak setelah wisuda. Kami membayangkan sureprize yang akan membuat kami mendengar tawanya lagi dan memastikan Bunga tidak mengetahui bahwa kami akan menemuinya.
Sesampainya di kota tempat Bunga berada, kami menginap di kakak teman kami. Itu kami putuskan karena tidak mungkin kami langsung pergi ke rumah sakit, yang ada kami hanya akan mengganggu istirahatnya.
Lagi pula ini sudah larut malam, pilihan menginap di rumah kakaknya Nida adalah pilihan yang lebih baik.
Pagi harinya, kami pun bersiap. Sempat kami berbincang sejenak mengenai rencana-rencana indah kami. Aku, hendak berencana mandi. Nida, membantu kakaknya masak. Adapun Lina, mengasuh anaknya kakak Nida.
Sejak bangun tidur hingga waktu itu, tidak ada satu pun diantara kami yang memegang ponsel. Sehingga tidak ada yang tahu kabar duka yang tengah diperbincangkan di sosial media kami.
Belum beranjak aku ke kamar mandi, ponsel Nida berdering. Dari kejauhan dia minta tolong untuk mengangkat telponnya. Itu yang menelpon adalah teman kami yang tidak bisa ikut menjenguk.
Tanganku bergetar, ini kenapa begitu to the point, apakah orang di telpon ini sedang becanda? Segera aku bergegas menemui Nida.
Ada apa? Tanya Nida. Aku memutuskan terdiam dan memberikan ponselnya saja, siapa tahu aku salah dengar.
Dan, apa yang aku saksikan ini, aku benar-benar tidak salah dengar. Nida yang masih menggenggam ponsel dengan kuat mendengar penjelasan di telpon itu dengan seksama.
Sekilas aku mendengar, katanya saudara Bunga memberitahu kabar itu sejak tengah malam di sosial media miliknya.
Sontak aku berlari, menangis keras tak tertahankan. Sempat ku lihat Nida meneteskan air mata. Dan Lina, apakah ia setegar itu setelah mendengar ini?
Rupanya setelah tangisanku mereda, dia pun sama menangis dan bersembunyi di dalam kamar.
Pikiran kami dibuat kalut. Untungnya di saat-saat seperti itu, kakaknya Nida hadir menjadi penenang kami agar tetap mampu berpikir jernih.
Kami disuruhnya bersiap-siap, karena hanya itu hal yang lebih baik kami lakukan dengan menguatkan diri dari tangis yang sukar untuk usai.
Kami berangkat, namun lihatlah pakaian kami. Pakaian stylish semua, kita kan mau reuni, bukan takziyah, celetuk temanku.
Bukanya kita mau foto bersama? Celetuk temanku yang satu lagi.
Aku tahu sepanjang perjalanan hati kami sebenarnya rapuh, kami hanya terus berusaha menutup kerapuhan itu.
Meski pada akhirnya hanya aku yang gagal untuk tetap kuat, air mataku kembali tumpah, aku menangis terisak di angkot. Cukup lama aku menangis, ah, memang aku tidak bisa sekuat mereka.
Ku pandangi Lina, ku pandangi Nida, meski mata mereka sembab, merekalah yang membuatku kembali kuat.
Tiba saatnya kami di rumahnya, rupanya dia tengah dikebumikan. Kami tidak sempat bertemu, bahkan menyolatkannya.
Hanya tanah yang kini bisa kami pandang. Bunga, doa kami selalu ada untukmu. Jika semuanya sudah terlambat, kami hanya memiliki doa yang tak akan pernah usang.
Keluarganya bilang, ia menghembuskan nafas terakhir di tengah malam pada pukul 12. Seumur hidupmu kau tak pernah menunjukan tangis.
Dan inilah air mata pertama dan terakhir kami untukmu.
Semasa hidupmu, kau memang suka membuat kejutan. Tapi ini bukanlah sesuatu yang lucu, Bunga. Seharusnya kami yang memberimu kejutan, dan bukan kamu.
Semoga Allah mengampuni dan memberikan tempat terindahNya untukmu. Amin.
Purna waktu memukul kami. Saat sebuah kenyataan mengusik bayang temu yang sepertinya indah. Tulang belulang ini tiba-tiba remuk. Seolah tak ada penyangga untuk kami bisa berdiri dengan kuat. Bayangan tentang, senyumannya saat melihat kehadiran kami, menjadi gelap. Semuanya kedap oleh tangisan. Benarkah ini? Rasanya kami masih tidak percaya. Dalam lemah lunglainya batin ini, namun kami tetap bisa berjalan, dengan terburu-buru entah kekuatan darimana, kami berharap tidak sungguh-sungguh terlambat. Kami terlambat. Kami datang untuk menjenguknya, bukan untuk takziah. Kalau begitu kami harus sempat menyolatinya. Tapi semuanya terlambat. Ia sudah dikebumikan. Apa yang terjadi ini, apa maksudnya? Kami datang untuk melihat senyumnya, tapi takdir malah membuat kami melihat tanah yang menutupinya. Jikasanya waktu bisa mundur, kami akan datang lebih cepat, mungkin kami masih sempat melihat wajahnya untuk kali terakhir. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di malam sebelum kami bermaksud menengoknya di keesokan hari. Dalam kegelapan tangis ini, kami berusaha mencari setitik saja cahaya. Sepertinya kami tetap harus bersyukur. Mungkin mendiang sahabat kami tetap bahagia karena kami bisa mendoakan di tempat kediamannya yang terakhir.