![]() |
| Ilustrasi (Foto: shutterstock) |
Suara ledakan itu menguliti rasa kemanusiaanku. Aku tahu ini akan terjadi. Seluruh dukaku dipenuhi Palestina, bahkan dilampaui oleh seorang anak kecil dari negeri itu, ia yang menolak untuk aku bawa ke Indonesia, yang kini menjadi korban, dan mati.
Sejak saat itu aku tak mau lagi pergi ke sana, sama sekali bukan karena tak ada lagi kepedulian pada negeri yang selalu didoakan muslim di seluruh penjuru dunia. Aku selalu rindu, bahkan rindu menyaksikan anak-anak kecil yang begitu bahagia dengan darah dan nyawa yang mereka putar-putar. Aku malu tak ada cahaya dalam diriku seindah mereka, aku belum tentu seberani mereka. Aku tak mau pergi ke sana lagi, sesuai pesan seorang anak kecil yang nanti aku ceritakan.
Sembari ku menatapnya makan dengan lahap, anak itu tak lupa berdoa sebelum dan sesudahnya, ia tak lantas menyiksa diri, padahal ratusan menit yang lalu telah ia saksikan sendiri orangtuanya tertembak mati, lantas tak menyurutkan semangat hidupnya. Ya Robb, aku belum tentu sekuat anak itu. Ku perhatikan perawakannya. Anak yang cantik, putih khas kebangsaannya, walau sebagian wajah dan tubuhnya kotor, namun ia dibaluti jilbab yang kian membuatnya semakin gemas.
“Ikutlah bersamaku, ke negaraku. Aku akan merawatmu, dan menjamin kehidupanmu. Aku akan menjadi kakakmu.” Kataku terbata-bata, masih belajar dengan bahasa bangsa itu, berharap anak itu paham.
Pernyataanku lantas membuatnya terdiam sesaat. Ia perhatikan sekeliling yang semakin menegaskan kesendiriannya dan menegaskan ketidakamanan di negerinya. Tiba-tiba ia menarik jilbabku, mencium tanganku, lalu berbisik di telingaku dengan bahasanya. Aku yang belum terlalu paham, berusaha memahaminya dengan perlahan.
“Kakak tidak usah khawatir. Aku bahagia di sini. Kenapa aku harus melarikan diri jika kesempatan surga terbuka sangat banyak di sini.”
Begitu kira-kira yang bisa aku pahami dari bisikannya. Aku terdiam, untuk ukuran lima belas tahun sepertinya, tak banyak pemikiran seusianya yang begitu faqih, hingga pembahasan surga memenuhi kepalanya. Padahal ku kira, anak kecil tidak terlau banyak dosa, tapi anak itu justru khawatir dengan nasib di akhirat hingga memikirkannya masak-masak. Aku semakin malu. Ini adalah tamparan yang paling mengena yang pernah aku rasakan.
Lamunanku tersadarkan saat anak kecil itu berucap:
“Kakak pulanglah! Orangtuaku bilang, tidak semua bentuk jihad harus dengan nyawa, meski negara kami menggunakan nyawa. Negara kakak membutuhkan penerus bangsa yang bisa memajukan negaranya. Kakak jangan di sini, pulanglah, negara kakak lebih membutuhkan. Memajukan dan membaktikan diri pada negara juga jihad kan?”.
Lama kami bercengkrama. Aku seperti menghabiskan waktuku dengan ulama cilik, setiap kata yang keluar dari lisannya tidak ada kesia-siaan. Kejadian itu berlangsung dua hari yang lalu. Sedangkan saat ini, aku yang hendak meninggalkan negeri itu, dan aku mendengar ledakan dari telingaku sendiri, orang menyampaikan berita, adanya ledakan di lokasi anak kecil itu berada. Aku tahu ini akan terjadi. Mengapa anak itu bahagia dengan kematiannya, tapi aku justru menangis.
Aku seperti kehilangan dua telingaku yang kemarin hari dibisiki suara malaikat kecil. Lalu apa yang bisa ku lakukan dari kehilangan, selain hanya doa. Ia banyak memberiku PR yang belum bisa aku jawab. Aku kini meyakini, bahwa ada pertemuan yang sifatnya sesaat, namun meninggalkan kesan seumur hidup.

