Cerpen: Sisi Buruk Rindu

 

Tangan yang melambai karena tidak ingin ditinggalkan
Ilustrasi (Foto: unsplash)




By: Syafnis

Hari ini Anya begitu semangat, ini adalah kali terakhir kepentingannya ke kampus, apalagi kalau bukan untuk mengambil ijazah.

Wajah sumringahnya semakin bersinar karena ia juga bisa bertemu dengan teman-teman kelasnya yang saat itu masih berjuang dengan skripsinya.

"Cieeee yang udah wisuda..!" 

"Cie.. ada bu guru nih..!" sambut teman-temannya memberi semangat. Tak lupa Anya pun menyemangati mereka agar segera menyusul dirinya.

Gelak tawa dan canda ria semakin membuat hati Anya mekar, ia seolah sedang mengobati rindu karena setelah ini akan sangat sukar menjumpai wajah-wajah teduh mereka lagi.

Sayangnya, di tengah obrolan hangat ini, tiba-tiba sesuatu mengganggu pikiranya.

"Oh itu ya si Aa calon kamu yang jadi pendamping wisuda kamu! Yang pernah kamu posting di instagram kan? Ada calon pengantin nih!" Sahut temannya.

Anya tersenyum, tapi sebenarnya bukan ini yang membuatnya terganggu. Tapi celetukan temannya setelah ini.

"Eh Anya tahu gak sih! Gue tuh kemarin iseng nyamain foto aa lho sama si Bara. Saking gue kaget dengan kemiripan mereka, gue edit tuh disatuin, terus dikirim ke Bara. Eh dia bilang gue halu, padahal serius, emang bener mirip kan?" Celetuk Dea, entah nada polos ataukah tahu sesuatu tentang Anya.

"Nggak ah Dea, cuman perawakannya, bentuk wajah, sama rambutnya aja. Wajahnya mah nggak!" Jawab Anya.

"Tuh kan bener! Tapi setidaknya mereka ada miripnya kan?" Tampak rasa puas Dea karena berhasil membuat Anya terpancing.

Menyadari itu, Dea pun menjadi irit bicara.

"Gue tahu lho menyembunyikan sesuatu. Tapi cuman gue yang ngeuh." Ucap dea dalam hati saat Anya pamit pergi.

Tampak ekspresi Anya berubah gelagapan. Di perjalanan pulang saat sedang menaiki angkot, ia terus kepikiran dengan ucapan Dea. Apa dia tahu sesuatu, atau hanya kebetulan sajakah, batin Anya terus berbicara dengan cemas.

Iapun memutuskan untuk berhenti di sebuah kafe. Ia ingin merenung sambil meminum teh tarik hangat yang dipesannya.

Di tengah kebingungannya, sorot matanya pun menatap jari manisnya yang sudah dilingkari cincin tunangan. Ia pun mengambil handphonenya, dan nama Bara adalah yang pertama kali muncul di beranda sosial medianya. Seketika ia tutup hp itu.

Sebelum ia menikah, mungkin ini adalah kali terakhir lamunannya tentang lelaki itu. Lelaki yang pernah diberi harapan palsu olehnya, padahal ia tak pernah merasa memberi harapan.

"Apakah hanya aku, yang pernah mengalami sisi buruk Rindu. Aku bahkan setia pada Aa, sampai aku membayangkan dia ada pada temanku sendiri."

Ia pun hampir saja tenggelam dalam lamunan masa lalunya, namun terhenti karena ada seseorang yang menelpon.

"Kamu dimana?"

" Lagi di kafe tempat biasa."

"Aku ke sana ya!"

Temannya yang bernama Hana hendak menemuinya. Rupanya ia tidak jauh dari kafe tempat ia mendinginkan hati.

Kesepian memang selalu pandai memanfaatkan situasi. Namun sebelum air mata itu bertambah jadi hujan, seseorang secara tiba-tiba merangkulnya dari belakang.

Pecah sudah bunyi tangis yang tertahan di rongga paling dalam. Hana, tak sedetikpun mengedipkan matanya, mencoba mendengarkan bahasa air mata sang sahabat.

"Aku udah feeling, aku wajib ke sini." Sahut Hana, ketika tangis Anya mulai mereda. Anya tidak meresponnya, tapi Hana mengerti, diamnya Anya tetap membutuhkan kata demi kata yang keluar dari lisannya.

"Aku tadi ditelpon Dea."

Anya agak terperanjat, tapi ia tetap diam.

"Dea minta maaf sama kamu."

Dan Anya tetap terdiam.

"Dia sebenarnya tahu sesuatu."

Mulailah kecemasan Anya naik lagi. Ingin marah, namun tak bisa. Memang itulah aibnya, khilafnya di masa lalu. Anya merasa itu wajar saja, karena Dea sangat dekat dengan Hana. 

"Ya udah lah Han, semua udah terlanjur. Ku harap Dea tidak menyebarkannya seperti yang dilakukan kamu ke Dea."

Hana tersenyum kecil, ia sedikit pun tidak tersinggung karena sudah tahu watak sahabatnya yang blak blakan.

"Aku tuh terpaksa ngasih tahu Dea, toh misi kita pun akhirnya berhasil."

Anya terdiam penuh tanya. Hana pun bercerita cukup panjang. 

**

Angin membelai halus jilbab mereka, tak lama gerimis pun turun. Gemetar hujan mengundang petir yang beradu dengan suara percikannya.

Sesekali Anya menikmati teh hangat di depannya, seolah tak siap dengan cerita masa lalu yang harus didengarnya lagi.

Memang Hana telah cerita ke Dea tentang apa yang terjadi, nyatanya bukan sekedar karena mulut ember, tapi memang wujud rasa sayang Hana pada sahabatnya.

Singkat cerita, Hana cerita ke Dea kalau Anya memang udah ada yang serius, tapi harus berjalan LDR dulu, harus nunggu dulu sampai si Aa selesai mondok di mahadnya.

Hana pun malanjutkan ceritanya pada Dea.

Tahu kan mahad itu seperti apa? Sangat ketat, benar-benar harus fokus menimba ilmu sehingga penggunaan gadget pun dilarang.

Aa bilang ke orang tua Anya, kalau ada yang lebih baik darinya pun tidak apa-apa, Anya ia ikhlaskan. Meskipun sebenarnya Aa ingin membekali diri dengan ilmu agama agar suatu saat dapat menjadi imam yang baik. Tapi aa sudah datang ke rumah untuk menunjukan keseriusannya pada putri mereka.

Rupanya, tanpa sepengatahuan orang tuanya, Anya menyanggupi untuk komitmen dengan Aa, padahal Aa tak memaksa. Hati Anya telah terlanjur tertawan, meski hanya obrolan singkat, Anya bisa merasakan kemistri dan visi yang sama dalam memandang masa depan.

Menjalani hubungan ldr memang tak mudah, apalagi tanpa komunikasi, ini adalah hal yang sangat berat, namun harus Anya tanggung. Kesepian memang rawan. Buktinya, sesetia dan seserius Anya saja rawan dengan godaan yang melelehkan perasaan.

Adalah Bara, teman sekelas Anya. Dia sebenarnya tipe orang yang sangat care, dia baik ke semua orang, cowo ataupun cewe. Tapi anehnya, saking baiknya ke semua wanita sampai Anya tak menyadari kalau Bara menyukainya.

Komunikasi berjalan semakin dekat, Bara datang mengisi kekosongan Anya yang hampa. Tak sedikitpun Anya curiga, Anya bahkan tak merasa, bahwa dirinya telah membuat seseorang merasa nyaman. 

Pernah suatu hari, Anya memperhatikan Bara di kejauhan. Di tengah hiruk pikuk suasana kelas di kampus, tidak ada yang menyadari betapa lekatnya Anya memandang Bara.

Perawakannya, rambutnya, alisnya, tingginya, sedikit banyak cukup mirip dengan Aa. Hati Anya berbunga-bunga, hanya karena ia merindukan Aa, Bara yang saat ini mendekatinya ia anggap seolah seperti Aa, hanya karena kemiripan itu. Sungguh sisi buruk Rindu telah membuat Anya menyesal seumur hidupnya, beruntung ia belum terlambat menyadarinya.

**

Rupanya, Dea dan Hana saling bekerja sama, karena ada yang telah dibuat buta dengan keadaan. 

Anya mulai melangkah mundur sejak Hana menyadarkannya, sejak Hana membangunkannya dari hidup dalam rindu.

"Aku sih gak masalah kalau kamu suka sama Bara, ini masalahnya, kan kamu gak ada perasaan sama sekali. Padahal Bara beneran suka sama kamu."

Hana menahan nafas dan melanjutkan, 

"Aku tuh gak habis pikir ya, hanya karena dia ada kemiripan sama orang yang kamu cinta, terus kamu menjalani hari-hari yang membuat Bara mengira kamu punya perasaan lebih. Stop Anya, atau kamu emang berniat mempermainkan seseorang!"

Anya meneteskan air matanya, tipe pendiam sepertinya memang tidak banyak komen. Sedari tadi ia hanya terus mendengarkan tanpa pernah memotong pembicaraan.

Puas dengan seluruh kesal dan amarahnya, Hana menyikutnya.

"Bicaralah!"

Anya pun membenarkan. Ia sangat berterima kasih pada sahabatnya. Ia berjanji hendak menjaga jarak.

Anya pun melanjutkan,

"Aku hanya rindu Aa Han, aku hanya rindu Aa. Aku merasa sedikit terobati karena setiap kali melihat Bara, aku seperti melihat Aa. Aku kira dia baik seperti biasanya, dan tidak lebih. Aku khilaf Han, aku memanfaatkan Bara, padahal aku hanya kesepian."

Hana terus menguatkan. Tangis mereka pun pecah dan berpelukan. 

Hana meneteskan air mata sepanjang bercerita. Dea yang terkenal tomboy itu justru ikut-ikutan meneteskan air mata mendengar cerita Hana.

"Gue sebenarnya gak nyangka, tapi Anya juga manusia." Respon Dea, menyayangkan.

**

"Kamu dan Dea ada misi apa emang Han?"

Memang semenjak Anya menjaga jarak, Bara malah terus mengejar-ngejar. Tapi apalah daya Anya, ia sudah terlanjur melakukan kesalahan, dan ia tak ingin meneruskan kesalahan itu.

Mengetahui Anya sudah ada yang dekat, Bara tak menyerah. Sepanjang janur kuning belum melengkung, Bara tak akan menyerah. Meski Anya semakin secukupnya dalam merespon.

Usahanya yang paling terakhir adalah momentum KKN. Namun harus gagal oleh sahabatnya sendiri, Dea.

"Aku gak punya temen ih, aku ikut kamu ya!" Dea memohon-mohon pada Bara agar bisa satu kelompok. Padahal bagi Bara ini adalah momentum emas agar bisa lebih dekat.

"Tapi aku udah ajak Anya."

Merasa kasihan dengan sahabat, Bara pun menelpon Anya. Justru Anya tidak masalah kalau harus cari kelompok lagi. Takdir memang tak memihak Bara, kuota kelompok itu tinggal satu orang lagi. Ia pun tak berdaya dengan permohonan Dea yang memelas.

Rupanya itu pula yang menjadi misi Dea dan Hana yang terakhir.

"Aku sama Dea udah bantu misahin Bara dari kamu, cuma mungkin kamu gak nyadar!"

Tertamparlah Anya dengan penjelasan sahabatnya. Ia semakin sayang dan bersyukur punya sahabat sepeduli dan sasayang Hana. Hp Hana berdering, menghentikan suasana haru.

Video call pun dijawab Hana. Dea rupanya. Mana Anya, tanya Dea.

"Gue minta maaf banget ya Anya. Tadi tuh gue iseng tahu, lho kan mau nikah. Gue cuman mau tau reaksi lho yang otw nikah kalo gue bahas Bara. Bener aja muka lho mendadak berubah!" Kata Dea tertawa terbahak.

"Suer gak ada yang ngeuh! Bara juga ceritanya cuman sama gue aja!" Lanjutnya dengan gaya tomboynya.

"Tapi kalo yang soal edit foto itu emang beneran sih, malahan beneran dikirim ke Bara! Tapi tenang aja, dia udah bisa legowo, gak segila dulu ngejar-ngejar lho! Udah tahu diri kali, lho kan mau nikah! Bara juga cerita kalo lho udah minta maaf sama dia."

Ana menarik nafas sembari tersenyum tulus.

"Aku justru makasih banget ya sama kamu, Hana baru cerita semuanya sama aku. Kalian support system banget, dan sekarang aku bisa melangkah dengan tenang. Kalau gak ada kalian, mungkin hubunganku akan semakin rumit."

"Santai, manusia tempatnya khilaf. Selamat buat pernikahan lho yang udah makin di depan mata. Semoga lancar ya!"

Telepon berakhir. Hana dan Anya saling memandang, hening. Lagi, Anya memeluk Hana. Pelukan rasa terima kasih, sekaligus perpisahan. Karena bagaimanapun, seusai menikah nanti ia akan sangat kehilangan sosoknya yang sudah berjuang banyak untuknya. Waktu mereka pun tidak akan sesenggang saat ini.

"Cukup aku yang merasakan sisi buruk rindu, semoga kamu bisa belajar banyak dari aku ya Han," kalimat terakhir Anya.

Tak ada lagi angin, petir pun pergi. Tapi hujan semakin deras. Di tengah derasnya itu, dua orang gadis saling tertawa. Keduanya masih terduduk dengan obrolan persahabatan yang akan selalu mereka kenang.

Tapi tentang Bara, itu hanyalah masa lalu yang menampar. Bahwa ada rindu yang bisa terlampau batas hingga menodai kesetiaan. Aku belajar banget dari rindu kamu yang salah, Anya. Ucap Hana, menutup perjumpaan.

***




Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.